Kamis, 11 September 2014

Pelangi Rapuh

Merah tak seberani api yang berkobar
Jingga tak seterang matahari yang bersinar
Kuning tak secerah bunga Tithonia yang mekar
Hijau tak setenang daun yang jatuh
Biru tak seluas samudra yang utuh
Ungu tak semegah istana yang angkuh

Merah juga takut
Jingga juga gelap
Kuning juga mendung
Hijau juga bisa bergejolak
Biru juga bisa menyempit
Ungu juga bisa berdebu

Putih menjadi kertas
Hitam menjadi kuas
Abu lahir menetas

Salahkah jika merah ingin menjadi pink?
Salahkah jika jingga ingin menjadi coklat?
Salahkah kuning jika ingin menjadi mendung?
Salahkah hijau jika ingin menjadi penggejolak?
Salahkah biru jika ia tak mampu seluas lautan?
Salahkah ungu jika ia tak mampu semegah istana?

Aku bukan emas yang kaya
Aku bukan perak yang mahal
Aku bukan pelangi yang selalu tersenyum
Aku adalah pelangi yang bisa rapuh

Rabu, 03 September 2014

Muslimah Berjilbab Syar'i: Taat vs Fanatik

Assalamu'alaikum wr. wb.
Selamat siang pembaca, apa kabar? :D Kali ini saya "kepancing" untuk beropini tentang suatu hal yang menurut saya agak sensitif nih wkwk. Yaa takut salah dan sotoy juga sih nge-posting ini, tapi saya greget pengen beropini tentang ini nih wkwk. Makanya saya bilang ini cuma opini loh ya. Mohon diingatkan yaaa jika dalam tulisan ini ada yang tidak pas, hehe :)

So, let's start! Muslimah Berjilbab Syar'i: Taat vs Fanatik............

Selasa, 02 September 2014

Tak Ada Tangan untuk Bertepuk

Aku sungguh tak mengerti. Aku seperti berkali-kali jatuh di lubang yang sama. Aku selalu berusaha untuk menghindari jalan berlubang. Namun entah kenapa, selalu ada waktu di mana aku terjatuh dan terjatuh, di lubang yang sama.

Aku tak mengerti ketika aku katakan "tolong jangan lupakan aku". Yang terjadi malah seperti sebaliknya. Aku dilupakan. Aku ditinggalkan. Aku sendirian. Aku sama sekali tak tersimpan dalam memori mereka.

Aku tak mengerti ketika aku katakan "izinkan aku tetap ada di sampingmu". Yang terjadi malah seperti sebaliknya. Seperti mereka menciptakan tembok agar aku tak bisa masuk. Seperti mereka menggembok hati mereka dan berkata "aku tak ingin kau, aku ingin orang lain".

Aku tak mengerti ketika aku menangis merasakan semua kenyataan. Apakah ini hanya perasaanku saja? Apakah ini hanya imajinasi dari prasangkaku saja?

Aku tak mengerti ketika mereka berkata "tidak, bukan begitu. ini bukan salahmu". Jika memang bukan salahku kenapa mereka seolah menggembok diri mereka agar aku tak bisa datang di sampingnya?

Aku tak mengerti ketika mereka berkata "ini hanya kesalahpahaman, bukan karenamu". Jika memang bukan karenaku, kenapa tak kalian jelaskan apa sebabnya? Agar aku yakin itu bukanlah karenaku.

Aku tak mengerti ketika mereka berkata "maaf, ini salahku". Kenapa mereka meminta maaf? Yang ingin kudengar bukanlah maaf, tetapi sebuah kejujuran yang menandakan kepercayaan yang mereka beri padaku.

Aku tak mengerti... "bukan begitu, aku percaya padamu" kata mereka. Bohong. Sejauh mana mereka percaya padaku? Sejauh bunga yang percaya salju akan turun di musim panas? Sejauh bulan yang percaya bisa memancarkan cahaya sendiri tanpa pantulan sinar matahari?

Percayaku... Sejauh lebah yang mengambil nektar untuk menghasilkan madu. Sejauh tumbuhan yang membutuhkan matahari. Sejauh.... Lebih jauh dari percayamu padaku. Jauh, jauh lebih jauh dari percayamu padaku.