Selasa, 10 November 2015

Mencintai Lagi - Bagian 1 : Déjà vu

27 September 2015, aku masih menghabiskan waktu di rumahku, di Tangerang Selatan. Kamis lalu, 24 September 2015 adalah Hari Raya Idul Adha. Hampir semua teman sekelasku pulang ke rumah masing-masing. Biar kuperjelas, latar dari ceritaku ini adalah Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Lebih rincinya, di Departemen Pendidikan Kimia. Hari Jum’at yang biasanya full dengan jadwal kuliah telah berhasil dinegosiasi oleh pengurus kelas Pendidikan Kimia A 2014, kelasku, beberapa hari sebelum Idul Adha. Jadilah kami mendapat libur panjang, dari Kamis hingga Senin.
Hari ini sebenarnya ada rapat. Rapat panitia TMR 1. Tapi apa daya, kakiku masih menginjakkan diri di Tangsel. Yah, walaupun sebenarnya akupun tak terlalu berkeinginan untuk ikut rapat itu. Siapa yang mau menghabiskan waktu liburnya untuk rapat jika kita bisa pulang ke rumah bercengkrama dengan keluarga yang tak setiap hari ditemui? Oke, mungkin dulu aku seperti itu, penggila rapat di Rohis SMA. Tapi sekarang berbeda.

Sehari setelah pembuatan grup panitia TMR 1, rupanya koordinator divisi acara membuat grup lainnya bernama “Intelectuality Event.” Isinya? Staff-staff divisi acara ditambah dengan SC: Teh Aam, Teh Ade dan Kang Asep. Ketiganya orangtuaku di KPSDM, departemen tempat aku bermagang di UKDM. Kaderisasi dan Pembinaan Sumber Daya Manusia, itu kepanjangannya. Untuk perekruitan anggota baru UKDM, khususnya untuk mahasiswa baru memang dipegang oleh departemen KPSDM ini, terutama bidang kaderisasi. Dan yes, aku memang pemagang bidang kaderisasi bersama Windi. Karena itulah kami wajib mendaftar untuk menjadi panitia. Windi dan aku biasa senasib di KPSDM. Tapi sekarang berbeda, kami terdaftar di divisi yang berbeda. Ada sedikit rasa kehilangan, karena di KPSDM kami berdua selalu menanggung hal yang sama dengan bersama-sama. Yah, terima saja. Toh aku mendaftar UKDM bukan karena ingin bersama Windi.

Kemarin malam, grup Intelectuality Event itu sedang ramai. Membahas tema yang akan diajukan divisi acara untuk TMR nanti. Di sana ada Teh Ade, Kang Taufik, Fauzan Irfan, dan Cibi sudah bergabung. Oh, ada satu lagi. Putri Anggun? Siapa ya? Anak angkatan 2014? Ah, rasanya bukan. Cibi sempat mengirim chat pribadi kepadaku, mengajakku untuk ikut berpendapat mengenai tema di grup, karena rupanya terjadi sedikit selisih tema antara Kang Taufik dan Fauzan. Aku yang masa bodoh ini mengabaikannya, baru membuka chatnya tadi pagi. Dan saat Cibi membalas, dia menanyakan apakah aku akan datang rapat hari ini atau tidak. Tentu saja kujawab tidak, aku masih belum di Bandung.

Rasa tidak peduliku terhadap UKDM semakin menjadi. Apalagi kalau masalah kepanitiaan proker KPSDM. Entahlah, seringkali kepanitiaan di UKDM membuatku tak nyaman, terlalu mendadak, kurang persiapan, serta kurang SDM juga.

“Jalan dakwah itu memang begini, banyak rintangan dan orangnya pasti sedikit. Gak usah aneh, memang beginilah yang namanya dakwah,” teringat satu kalimat yang sering sekali disampaikan beberapa petinggi UKDM. Yah, aku tahu memang seperti itu. Tapi rasa malas ini belum tereduksi, bagaimana dong, Akang, Teteh?

---

“Dea mah gak ikut kemareeen....!” kalimat yang pertama kudengar dari Cibi pagi ini di kelas.

“Haha, iya, masih di Tangsel,” kataku sambil tertawa. Kemudian aku lanjutkan, “kalau aku kemarin balik ke Bandung cuma demi rapat itu, nanti kamu nanya ‘ngapain De ke sini’? terus bilang, ‘kalau aku jadi kamu mah De, aku mah di rumah aja gak akan ke sini cuma demi rapat’,” itu kalimat yang sering juga Cibi ucapkan saat aku datang ke suatu rapat. Cibi hanya kembali tertawa.

Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel yang berasal dari ponselku dan Cibi, secara bersamaan. Aku menatap Cibi, “grup?” tanyaku. Cibi menggeleng, pertanda tidak tahu. Aku dan Cibi mengambil ponsel masing-masing, dan benar saja.

“Sore bisa pada rapat ga ...?”

Raut wajahku langsung berubah tak enak, dan Cibi cemberut, hanya gara-gara sebuah chat di sebuah grup dari sebuah media sosial, dari seorang koordinator divisi acara TMR 1 tahun 2015.

“Kamu harus tau Deeeeeee,” Cibi memulai pembicaraan. Aku mengerti kalimatnya belum selesai, aku diam menunggu ia melanjutkan ceritanya.

“Kemaren, waktu hari minggu, Kang Opik sama Ozan blablablabla.............,” Cibi bercerita panjang lebar. Ya, singkatnya, terjadi sedikit cekcok antara Kang Taufik dan Fauzan Irfan saat rapat kemarin karena membicaraka tema.

“Kalau aku tahu Kang Opik itu yang itu, aku gak akan masuk acara De,” lanjutnya. Aku menatapnya bingung. “kenapa emangnya?” tanyaku polos tak berdosa.

“Dia itu yang waktu mubes blablablablabla......,” oke aku tidak mengerti lagi. Lebih tepatnya tidak mengerti karena tidak ikut Mubes.

“Emang yang mana sih Kang Taufik itu??” tanyaku penasaran karena segala cerita Cibi.

“Mau tau yang mana?” tanya Cibi memastikan. Dengan spontannya aku mengangguk. “Oke,” kata Cibi sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Kemudian tak lama setelah itu, dering ponselku kembali berbunyi, dering yang sama dengan dering sebelumnya. Perasaanku menjadi tidak enak. Aku menatap layar ponselku dan melotot,

“Cibi sama Dea Insyaa Allah siap kang”

Cibi tertawa kecil melihat raut wajahku yang kaget melihat chat  di ponsel.

“Siap, De?? Nanti sore kamu bakal tau, yang mana yang namanya Kang Opik itu,” kata Cibi sambil meninggalkan tempat dudukku karena dosen Kimia Analitik kami yang telah memasuki kelas. Serius hari ini bakal ikut rapat?

---

“Pokoknya Cib, gak mau kalau rapatnya kelamaan sampe Maghrib! Sebelum Maghrib harus udah selesai! Jam setengah 6 harus udah selesai!” kataku sambil merengek, terpaksa berjalan menuju Masjid Al-Furqon bersama Cibi untuk datang di rapat divisi acara TMR 1. Cibi hanya terbahak-bahak, sepertinya puas mengerjaiku untuk datang rapat.

Tak terasa kaki kami sudah berada di selasar bagian belakang Al-Furqon. “Dimana rapatnya Cib?”
“Depan aula, ayo!” kata Cibi dengan mantap, kami berdua menuju ke depan aula Al-Furqon setelah meletakkan sepatu kami di rak yang tersedia. Aku celingak-celinguk mencari kumpulan orang berjaket biru UKDM, dan yang kutemukan adalah seorang akhwat UKDM yang kukenali.

“Teh Gisel?” aku berusaha menatap wajah akhwat berkerudung panjang yang sedang menunduk itu.

“Teh Gisel!” sapa Cibi lebih ceria.

“Eh, kalian! Ngapain di sini?” Teh Gisel menutup buku yang tadi dibacanya. Aku bingung mendengar pertanyaan Teh Gisel.

“Bukannya Teteh juga mau rapat acara?” tanyaku. Teh Gisel tersenyum dan menunjuk kumpulan orang di dalam aula Al-Furqon. Pandanganku dan Cibi mengarah ke arah telunjuk Teh Gisel.

“Teteh mah lagi ngurusin itu, tutorial,” kata Teh Gisel. Aku dan Cibi mengangguk.

“Kalian mau rapat acara TMR? Tuh, Opiknya di sana,” Teh Gisel kembali menunjuk seseorang yang arahnya berlawanan dengan kumpulan orang sebelumnya. Aku dan Cibi kembali mengikuti arah telunjuk Teh Gisel.

“Sendiri?” tanyaku. Tangan Cibi merangkul pundakku. “Nah, tuh Kang Opik, De,” jelas Cibi.

“Sendiri?” aku mengulang pertanyaanku. Maksudku, ini rapat acara TMR, kita akan rapat hanya bertiga saja?

“Mungkin masih pada di jalan,” kata Cibi yang kemudian memeriksa ponselnya untuk mengetahui apakah ada kabar dari yang lain. Aku dan Cibi duduk di samping Teh Gisel, menunggu pasukan anak acara yang lain.

Sudah lebih 10 menit dari waktu rapat yang ditentukan. Aku menggerak-gerakkan kakiku yang bosan, sambil mengkode ingin cepat pulang. Sudah sekitar 15 menit aku dan Cibi menunggu, tapi tidak ada anggota lain yang datang.

”Ayo kita mulai aja,”

Chat dari Kang Taufik masuk ke grup Intelectuality Event TMR. Dari kejauhan, terlihat beliau beranjak dari posisi duduknya dan berjalan menuju tempat Cibi dan aku duduk.

“Udah, sana, kalian mulai giiih,” kata Teh Gisel sedikit mengusir.

“Teteh juga ikut yuuk??” ajakku kepada Teh Gisel. Membayangkan rapat yang hanya terdiri dari tiga orang, belum kenal, pasti bakal krik, bosan, gaje, pikirku.

“Ih gak mau ah, Teteh kan lagi jaga tutorial,” Teh Gisel menghindari dari tanganku yang siap menggandeng tangannya. Raut wajahku semakin berubah malas, sedangkan Cibi sudah menggapai tanganku dan berjalan menuju Kang Taufik.

“Mulai aja ya rapatnya. Ini yang bisa dateng, Cibi sama ... Dea ya?” sang koordinator acara mulai mengeluarkan suaranya. Aku dan Cibi mengangguk. “Yang lain mana kang?” tanya Cibi.

“Kak put masih otw, terus Ozan, ada agenda katanya,” jawab Kang Taufik.

Walau hanya bertiga, rapat berjalan dengan sistematis. Dimulai dari pembukaan oleh MC, yaitu Kang Taufik. Kemudian tilawah, oleh Kang Taufik. Lalu kultum, oleh Kang Taufik. Dan kemudian rapat, dipimpin oleh Kang Taufik. Aku dan Cibi seperti penonton televisi yang sedang menonton acara ceramah yang semuanya dipegang oleh satu orang, Kang Taufik.

Sesaat sebelum memasuki inti dari rapat, seorang akhwat yag terdengar tergesa-gesa duduk manis di sampingku. Aku menoleh dan melihat wajahnya. Wajah yang tidak kukenal, tetapi sangat teduh, wajahnya sangat teduh dan menenangkan.

“Maaf, Pik, terlambat, tadi ada acara himpunan dulu,” akhwat berwajah teduh itu memiliki suara yang menenangkan juga.

“Iya, gapapa, ini juga baru mau dimulai,” Kang Taufik menjawab izin dari akhwat itu. Kang Taufik menawarkan kami bertiga untuk membuat rundown acara untuk TMR nanti. Cibi dengan gesitnya menulis dengan runtut apa yang Kang Taufik sampaikan. Akupun mencoba menulis apa yang Kang Taufik sampaikan, tetapi kecepatan jemariku menulis tak secepat suara Kang Taufik yang menjelaskan konsep rundown yang beliau punya. Aku menjadi penonton lagi ketika Cibi dan Kang Taufik berdiskusi mengenai rundown yang tadi ditulis Cibi. Tiba-tiba aku merasa sebuah tangan menyentuh lututku. Aku menoleh ke sebelah kiri.

“Namanya siapa? Belum kenalan,” akhwat di sampingku melempar senyumnya yang tulus, menanyakan namaku dan sesaat aku menatapnya kagum. Ternyata seorang akhwat yang taat bisa terlihat seteduh itu.

“Dea, Teh. Kalau Teteh?” aku bertanya balik sambil menjabat tangan yang ia sodorkan.

“Putri Anggun, PT 29, angkatan 2013,” kakak tingkat rupanya. “Kalau yang itu siapa?” tanya Teh Putri Anggun.

“Cibi Teh, namanya Annisa Oktaviani, tapi dipanggilnya Cibi hehe,” jawabku. Teh Putri Anggun mengangguk. Tak lama kemudian Cibi membawa kertas catatannya kepadaku. Diskusinya dengan Kang Taufik sudah selesai, Cibi meminta pendapat kepadaku dan Teh Putri Anggun, kemudian kami yang berdiskusi.

“Kalau gini gimana Teh? Biar gak kepotong Ashar,”

“Iya seharusnya gitu aja, coba, bisa gak dipadatkan di hari pertama?” aku mendengar Teh Putri Anggun dan Cibi berdiskusi dengan semangatnya, kemudian aku menjadi penonton kembali, hanya sesekali menyatakan pendapatku untuk rundown acara. Déjà vu.

Kemudian aku menoleh ke arah Kang Taufik yang sendirian membiarkan anak-anak buahnya berdiskusi tentang rundown untuk memberikan kenyamanan terbaik untuk peserta TMR. Wajahnya terlihat sedang berpikir, memikirkan sesuatu yang tak biasa yang bisa membuat acara TMR ini sukses. Kemudian, sesekali wajah kecilnya menatap langit yang memayungi Masjid Al-Furqon. Déjà vu.

Aku menatap sekeliling Masjid Al-Furqon yang dipenuhi berbagai suara dari orang-orang taat yang sedang berdiskusi keislaman, ada yang mentoring, atau sekedar rapat seperti kami sekarang, atau ada juga tutorial keislaman seperti yang sedang dilakukan Teh Gisel. Memandangi langit sore dari sebuah masjid yang berdiri megah. Déjà vu.

Melamun bersama kumpulan kecil yang merupakan bagian dari sebuah organisasi keislaman. Déjà vu.

“De,” tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dan menyadarkanku dari lamunan. Déjà vu-ku.

“Teh Tiqa!” aku mengenal beliau. Teh Tiqa, salah seorang anggota sekaligus pengurus UKDM. Beliau adalah ketua bidang pembinaan yang merupakan bagian dari departemen KPSDM (Kaderisasi dan Pembinaan Sumber Daya Manusia) yang sedang menjadi tempat magangku di UKDM sekarang. Hanya saja, aku bukan magang di bidang pembinaan, melainkan di kaderisasi.

“Udah sampai mana rapatnya?” tanya Teh Tiqa padaku.

“Ini lagi diskusi tentang rundown Teh, sama Cibi dan Teh Putri Anggun,” kataku. Teh Tiqa ikut serta masuk ke dalam lingkaran diskusi Cibi dan Teh Putri Anggun, begitupun aku. Setelah itu Teh Tiqa membicarakan mengenai pemateri yang akan diundang di TMR nanti bersama Kang Taufik, sementara kami bertiga masih dibiarkan untuk berdiskusi mengenai rundown acara.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Waktu semakin mengejar, langit semakin menyembunyikan matahari.

“Sudahi dulu aja ya diskusi rundownnya, coba sini,” kata Kang Taufik meminta kertas hasil diskusi kami. Beliau memandanginya secara perlahan, sambil terlihat berpikir apakah rundown yang sudah tersusun itu layak atau tidak.

“Oke, cukup. Sebenernya saya udah punya rundown buatan saya,” kalimat itu keluar setelah sekitar satu jam Cibi, aku, Teh Putri Anggun dan dengan bantuan Teh Tiqa, menyusun rundown yang sekarang sedang dipegang Kang Taufik itu.

“Terus buat apa kita disuruh bikin kang??” tanya Cibi dengan suara terheran.

“Yaa, pengen tau aja, kalau kalian yang bikin konsep rundown kayak gimana. Yuk sekarang bagi-bagi tugas terus ditutup rapatnya,” Kang Taufik mengembalikan kertas hasil diskusi kami kepada Cibi. Terasa aura Cibi yang panas mendengar jawaban itu.

“Jadi daritadi buang waktu doang dong??? Akang ih, kalau udah ada rundownnya mendingan daritadi bagi tugas dan beralih ngomongin yang lain!!” nada tinggi Cibi kembali terdengar, yang hanya dibalas tawa dari Kang Taufik.

“Opik!!” Teh Putri Anggun ikut protes dengan jawaban sang koordinator acara tersebut. Teh Tiqa menggelengkan kepalanya.

“Ih, buang waktu aja dong daritadi! Iya gak De???” tanya Cibi mencari dukungan. Dalam suasan protes itu, aku justru merasakan sebuah aura yang berbeda dari aura di UKDM yang kurasakan sebelum-sebelumnya. Di tengah untaian protes yang diucapkan Cibi dan Teh Putri Anggun kepada Kang Taufik, wajahku justru mengukir senyum, kemudian semua itu lepas.

“Hahahahahahahahahaha,”

“Dea kenapa malah ketawaa?? Jangan kayak Kang Opik!” protes Cibi.

“Hahahhahaha, gapapa Cib, pengen ketawa aja. Hayu bagi-bagi tugasnya kang , terus pulang,”

“PJ pemateri, Ozan. PJ juklak juklis dan perangkat acara, saya, PJ pretest & post test, Kak Put. PJ games siapa nih?” Kang Taufik mulai mengarahkan.

“Dea kang,” kata Cibi seenaknya.

“Dih!? Gak mau sendiri ah, berdua sama Cibi,” pintaku.

“Yaudah, boleh berdua gak kang?” tanya Cibi.

“Yaa, boleh. Tapi tokoh utamanya siapa?” beliau kembali bertanya. Aku dan Cibi saling bertatapan, tak terlalu paham apa maksudnya.

“Yang inti PJ nya tetep 1 orang. Nah dia itu nanti yang disalah-salahin,” kata Kang Taufik dengan datarnya. Kalimat terakhir yang membuatku tersenyum kembali sore itu mendapat protesan dari Cibi lagi, dan sore itu tak terasa berakhir.

Sore yang kuhabiskan bersama salah satu teman sekelasku, Cibi.

Sore yang kuhabiskan bersama koordinator acaraku, Kang Taufik.

Sore yang kuhabiskan bersama seorang akhwat teduh yang menenangkan, Teh Putri Anggun.

Sore yang tak kusangka akan menjadi pijakan awalku di UKDM. Sore yang akan menjadi awal sejarahku di UKDM. Biar kuulang, soreku bersama Cibi, Kang Opik dan Teh Putri.

Di sini, aku menemukan kuning dan merah lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar