Jumat, 21 Agustus 2020

Baper Gara-Gara Salam

"Sapaan paling romantis apa yang pernah kamu dapatkan dari orang lain? Aku punya sapaan yang paling romantis versiku sendiri, dan aku yakin kamu juga pasti pernah mendapat sapaan ini."

Perjalananku menuju sekretariat himpunan sudah hampir selesai, gedung yang berisi berbagai sekretariat himpunan dan UKM itu telah terlihat oleh mataku. Hari ini aku ke sana untuk menyimpan sejumlah barang dekorasi yang dipakai pada acara himpunan beberapa hari lalu.

"Niiii, tunggu!" terdengar suara Annisa tergopoh-gopoh membawa satu kardus berisi setumpukan spanduk-spanduk kecil. Ah, biar kuulangi. Hari ini, aku dan temanku, Annisa, menuju sekretariat himpunan untuk menyimpan barang-barang dekorasi ini.

"Kamu lama, Nis," jawabku menggodanya.

"Berat, tau! Kamu yang jalannya terlalu cepat, Nia. Istirahat dulu sebentar dong," kata Annisa menurunkan barang bawaannya. Padahal sedikit lagi juga sampai, yah apa boleh buat, batinku.

Aku ikut menurunkan barang bawaanku, kemudian membuka tas untuk mencari kunci sekre yang sebelumnya sudah kupinjam dari sekjend himpunan. Selama Annisa masih istirahat, sekalian saja aku siapkan kuncinya supaya nanti tidak usah repot mencari. Di tengah kesibukanmu mencari kunci, terdengar suara tak asing yang tiba-tiba menyapa, "assalamu'alaikum Annisa, Nia."

"Eh, Bang Salam. Wa'alaikumussalam," jawab Annisa dengan ramah. Aku masih fokus mencari kunci di dalam tas, tak berniat menjawab sapaan Bang Salam karena kupikir sudah diwakilkan oleh Annisa.

"Kalian sedang apa, kok diam saja di sini?" tanya Bang Salam.

"Hehe istirahat sebentar Bang. Kami mau bawa barang-barang ini ke sekre himpunan," jelas Annisa.

"Ohh begitu. Saya juga mau ke gedung sana, ke sekre LDK. Saya duluan ya. Assalamu'alaikum," kata Bang Salam sambil berlalu pergi sebelum kami sempat menanggapi apa-apa.

"Wa'alaikumussalam-"

"Ketemu nih, Nis! Kunci sekrenya! Ayo kita jalan lagi, biar cepet beres ini," kataku bersemangat.

"Ih, kamu tuh, Ni! Bukannya jawab salam dulu. Tadi juga pas Bang Salam nyapa, bukannya ditanggapi dulu malah sibuk aja sama tas," Annisa tiba-tiba menyemprotku. Aku yang tidak terlalu paham alasannya menyemprotku hanya cuek dan mulai berjalan lagi menuju sekre.

"Niaaa!! Kamu tuh ya, kebiasaan!" kata Annisa yang langsung beranjak sambil membawa kembali barang-barangnya. Aku yang sudah berjalan di depannya hanya menoleh dan memberikan senyuman meledek.

***

Mata kuliah praktikum yang baru saja selesai hari ini berhasil menguras tenagaku. Setelah keluar dari laboratorium dan merapikan jas lab, juga barang-barang praktikum, aku bersiap menuju ke kantin untuk mencari camilan pengganjal lapar. Baru beberapa langkah meninggalkan lab, terdengar bunyi notifikasi berturut-turut yang cukup menggangguku, membuatku berhenti sejenak untuk mengecek, ada ribut-ribut apa ini? Ternyata notifikasi itu datang dari salah satu grup chat yang aku ikuti, grup bidangku di LDK.

Assalamu'alaikum adik-adik :) Sore ini jangan lupa ya kita kumpul di taman XX buat temu kangen sekalian persiapan untuk agenda kita selanjutnya. Ditunggu yaa

Pesan dari ketua bidangku itu, Kak Meita, yang ternyata menjadi penyebab ramainya pesan di grup. Aduh, capeknya kalau harus ke sana setelah berlelah-lelah dengan praktikum barusan! keluhku dalam hati. Tak lama, ada pesan personal masuk: Assalamu'alaikum Nia :) Nia sekarang bisa ikut kumpul di taman XX kan? Kakak tunggu ya, di sini udah ada beberapa teman yang lain :).

Selain mengirim pesan di grup, ketua bidangku ini ternyata mengirim pesan pribadi juga. Waduh, bagaimana aku tidak merasa tidak enak kalau sudah begini. Aku membalas pesan tersebut, menyampaikan aku akan menyusul setelah beristirahat sejenak karena baru saja selesai praktikum. Setelah membalas pesannya, aku melanjutkan langkah kakiku menuju kantin fakultas, perutku sudah menjadi ganas karena kelaparan.

Di lorong menuju kantin, aku melihat sosok yang kukenal sedang berlari tergesa-gesa. Ah, itu teman SMA-ku yang sekarang kuliah di fakultas yang sama denganku, tetapi kami berbeda jurusan. Mata kami bertemu dari kejauhan, aku bersiap melambaikan tangan dan dia pun terlihat bersiap untuk mengatakan sesuatu.

"Eh, Nia! Assalamu'alaikum, Ni! Aku lagi buru-buru nih, duluan ya!" dia menyapaku saat kami berpapasan, tanpa menghentikan kakinya yang terus berlari. Sepertinya memang sedang terburu-buru. Kalau memang terburu-buru seperti itu, kenapa sampai bela-belain menyapa dengan salam? Padahal cukup senyum atau melambaikan tangan saja juga tidak apa- apa kok, pikirku.

Sesampainya di kantin, aku bersemangat memborong sejumlah camilan kesukaanku. Ah, ini pasti efek lapar mata. Ketika mengantre untuk bayar, sosok mungil yang berdiri di depanku menoleh ke arahku.

"Wah, Kak Nia ternyata! Assalamu'alaikum kak," sapanya dengan ceria. Oh, ternyata Siska, adik tingkat yang berada di bidang yang sama denganku di LDK.

"Wa'alaikumussalam Siska. Kamu baru selesai kuliah juga?" tanyaku basa-basi.

"Iya kak. Kakak ikut kumpul bidang sekarang kan?" Aku menjawab pertanyaannya hanya dengan anggukan. "Aku juga mau ke sana kak. Tapi aku harus mampir dulu ke tempat lain, jadi gak bisa bareng sama Kak Nia deh," lanjut Siska.

"Ah gapapa kok. Nanti juga kan ketemu kalau sama-sama ke sana," jawabku santai.

"Hehe iya juga. Kalau begitu, Siska pergi duluan ya, Kak. Assalamu'alaikum," Siska tersenyum sambil berlalu pergi meninggalkan kantin. Aku hanya diam sambil menyetorkan camilan yang ingin kubeli ke meja kasir.

"Salamnya dijawab dulu kali, neng," tiba-tiba terdengar suara Annisa dari belakangku. Benar, Annisa tiba-tiba muncul!

"Dih, apa sih, bikin kaget aja kamu, Nis," kataku menggerutu. Responku itu ternyata menyulut semprotan khas dari diri Annisa. Iya, aku kena semprot lagi: "Kamu ih kebiasaan gitu, Ni. Kalau ada orang yang salam tuh wajib dijawab tau, jangan diem aja. Jawab salam aja kok susah, sayang banget kalau salam cuma didiemin aja."

"Ya abisnya, orang-orang juga kenapa sering banget salam sih? Padahal kan bisa langsung aja ngobrol apa yang mau disampaikan, to the point gitu. Kenapa harus susah-susah salam? Bikin lama aja. Terus kayak Bang Salam tadi pagi tuh, atau barusan teman SMA-ku yang lagi buru-buru. Sebenarnya mereka gak ada keperluan menyampaikan apa-apa kan? Tapi kenapa gitu harus ngasih salam? Kenapa gak nyapa biasa aja dengan panggil nama," aku pun tersulut dengan semprotan Annisa. Annisa agak kaget mendengar celotehan panjang lebarku yang tiba-tiba ikut ngegas.

"Kamu tuh ya, Ni. Sekarang kita otw taman XX dulu yuk, nanti kamu makin telat ikut kumpul loh. Aku juga ada pertemuan di dekat situ. Nanti setelah selesai, aku ceritain kenapa orang-orang yang kamu temui suka ngasih salam," suara Annisa yang tadinya greget dengan kelakukanku, berubah menjadi tawa kecil. Tangannya kemudian menggandengku, mengingatkanku untuk tidak semakin membuang waktu di kantin karena ada pertemuan yang harus aku ikuti.

 ***

Langit sore yang berwarna jingga diikuti matahari yang semakin siap tenggelam mengakhiri pertemuanku dengan teman-teman LDK di taman XX. Kak Meita sudah menutup penyampaiannya, doa pun telah usai dilantunkan. Satu per satu beranjak pergi setelah membereskan dan membersihkan sampah-sampah yang ada selama pertemuan tadi. Aku menggeserkan posisi dari tempat kumpul tadi, menuju sebuah batu besar yang biasa digunakan untuk duduk. Iya, aku masih menunggu Annisa untuk pulang ke kosan bersamanya. Kak Meita melihatku yang belum meninggalkan tempat itu, lalu menghampiriku sambil menyapa: "Nia belum akan pulang sekarang?"

"Belum, Kak. Nunggu teman dulu untuk pulang bareng. Dia lagi ada pertemuan di sekitar sini juga." jawabku.

"Oh gitu. Kalau gitu kakak duluan ya, Ni. Kamu hati-hati pulangnya. Assalamu'alaikum," kata Kak Meita mengakhiri obrolan singkat itu. Lagi-lagi salam. Kenapa? Padahal tadi ketika menutup pertemuan kan sudah diakhiri dengan salam. Kenapa sekarang masih aja salam lagi? Aku semakin penasaran dengan jawaban yang mau disampaikan Annisa tentang ini.

Tak lama setelah bergumam sendiri, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Ya, itu Annisa. "Yuk sambil jalan pulang," katanya. Aku langsung menagih jawaban yang ingin disampaikannya tentang salam, penasaran. Awalnya Annisa menolak, ia ingin membicarakannya setelah sampai di kosan saja, supaya lebih santai. Namun aku anak yang keras kepala, dan akhirnya berhasil membawa Annisa terpancing alur pembicaraanku.

"Aku udah lama penasaran dengan ini, tapi hari ini adalah yang paling parah, Nis! Banyak sekali salam yang aku terima hari ini. Mulai dari pagi saat kita gak sengaja ketemu Bang Salam, chat dari Kak Meita setelah praktikum tadi, teman SMA-ku yang berpapasan di lorong fakultas, Siska yang bertemu di kantin, dan kamu tau Nis? Sampai tadi pun ketika pertemuan, setiap ada orang yang baru datang untuk bergabung, semua mengucapkan salam. Pas pertemuan mau dibuka, diawali lagi dengan salam, begitupun di akhir pertemuan ditutup dengan salam. Bahkan Kak Meita yang pamit pulang duluan kepadaku barusan pun mengucap salam lagi. Kenapa sesering itu orang-orang memberikan salam?" curhatku panjang lebar.

"Hhh. Karena mereka sayang kamu, Ni," jawab Annisa sambil menghela napas. Jawaban yang begitu sederhana, singkat, tetapi bagiku tidak jelas. Hah? Begitulah raut wajahku berbicara.

"Kamu akan mengerti kalau kamu cari tau arti dari salam, 'assalamu'alaikum' itu Ni," lanjut Annisa yang memahami wajahku yang kebingungan. Langkahku terhenti dan tanganku menahan Annisa untuk melangkahkan kaki lebih jauh.

"Aku cari sekarang, di internet. Tunggu sebentar," kataku sambil mengecek ponsel, masih dengan posisi berdiri di pinggir jalan. Sepertinya Annisa agak lelah menghadapi kelakuanku itu, tetapi aku terlalu fokus pada layar ponselku sehingga tak peduli dengan dia yang menungguku sambil berdiri juga.

"Jangan lama-lama berhentinya, Ni. Udah mau adzan maghrib ini," kata Annisa mengingatkan. Aku mendengarnya, tetapi mataku masih fokus pada sebuah artikel yang aku baca, tentang arti dari kalimat salam yang hari ini sudah berkali-kali aku dengarkan.

Annisa sadar aku terlalu lama berdiam diri. Dia melirik wajahku yang masih agak tertunduk karena baru selesai membaca artikel di ponselku, dan apa yang Annisa temukan? Wajahku yang membatu beserta mata yang sudah berkaca-kaca karena air mata mulai memaksa keluar, itu yang Annisa lihat. Annisa terlihat agak kaget, sekaligus bingung kenapa tiba-tiba saja aku berekspresi seperti itu. Aku tersadar, kemudian sedikit mengusap air mataku yang belum sempat membanjiri wajah.

"Maaf tiba-tiba, Nis. Makasih ya, udah jawab rasa penasaranku, juga udah sering mengingatkanku untuk jawab salam dari orang lain," ucapku dengan suara agak pelan, masih terbawa suasana dari artikel yang aku baca. Annisa hanya tersenyum sambil merangkulku, memberi isyarat untuk segera melanjutkan langkah kaki menuju kosan karena waktu maghrib sudah semakin dekat.

"Nis. Assalamu'alaikum," kataku.
"Wa'alaikumussalam, Nia," jawabnya.
"Assalamu'alaikum," ucapku lagi.
"Wa'alaikumussalam. Heh, tapi gak gitu juga Ni. Masa sepanjang jalan menuju kosan kita mau berbalas salam melulu," kata Annisa sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa, sambil menertawakan diriku yang beberapa waktu lalu tidak menyadari jawaban atas rasa penasaranku sendiri.

Assalamu'alaikum,
semoga keselamatan terlimpah untukmu.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
semoga keselamatan dan rahmat Allah serta keberkahan-Nya terlimpah untukmu.
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,
dan semoga keselamatan dan rahmat Allah serta keberkahan-Nya terlimpah juga kepada kalian.

***

Di pagi yang dingin itu, aku dan Annisa sudah keluar dari kosan menuju gedung tempat sekretariat himpunan dan UKM berada. Kami mau mengambil barang-barang dekorasi di sekretariat LDK untuk acara siang nanti. Sesampainya di depan gedung, terlihat sosok yang tak asing bagi kami.

"Bang Salam, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!" sapaku dengan penuh semangat.

"Hush, gak usah sampai teriak-teriak gitu Ni," tegur Annisa. Aku hanya tertawa kecil. Bang Salam menoleh ke arah kami dan menjawab sapaanku sambil tersenyum, "wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar