Jumat, 02 Oktober 2020

Surat Untuk Rembulan

Hai, Bulan. Bagaimana kabarmu?
Kamu masih ingat aku kan? Hehe

Bulan, akhir-akhir ini aku terpikir sesuatu
Berbagai momen kehidupan yang selama ini sudah kulewati terlintas secara bergantian dalam pikiranku
Seperti memutar film, kau tahu?
Setiap episodenya membuatku merenung
Salah satunya adalah episode bersamamu
Terutama, tragedi episode akhir tentang kita

Aku jadi teringat, ada dua momen ketika aku dipenuhi kekhawatiran tentangmu
Walau aku tidak tahu, apakah itu khawatir yang baik?
Ataukah khawatir yang terlalu berlebihan?
Ingat saat awal masuk kuliah dulu?
Pertama kalinya kita berpisah, tidak belajar di satu lembaga pendidikan yang sama
Tapi saat itu kita masih sering berkomunikasi kan?
Apa yang paling kamu ingat dari masa kuliahmu?
Saat itu, kekhawatiran pertamaku padamu terjadi
Tahu tidak, tepatnya saat apa?
Saat aku tahu kamu bergabung dengan sebuah komunitas keislaman
Iya, salah satu yang terlihat bagai gerakan ekstremis muslim, di mataku
Kamu bilang padaku kan saat itu?
"Tenang saja, ini bukan komunitas yang aneh-aneh," katamu
Namun keburuksangkaan terus menghampiriku
Apalagi, saat aku melihat perubahan itu

Kamu, yang menjadi selalu berbusana gamis,
yang menjulur seperti kain yang mengepel lantai
Katamu, "sekarang aku menghindari baju atasan dan rok"
"Gamis ini pakaian yang lebih sederhana"
Kamu, yang memakai kerudung jumbo sampai menenggelamkan ranselmu
Katamu, "kain yang panjang begini membuatku lebih nyaman"
"Lagipula, kerudung kan memang harusnya menutup dada"
Kamu, yang memakai manset yang kamu sebut sebagai handsock
Katamu, "ini untuk menutupi aurat tangan kita, untuk menjaga diri"
Tetapi saat itu, pasti kamu tidak tahu,
bahwa aku sebenarnya memandangmu dengan sedikit sinis
Sedikit sinis, sambil dipenuhi kekhawatiran
Khawatir, jika komunitas itu akan membawamu pergi
Membawamu pergi dariku sambil berkata, "aku tidak mau berteman lagi denganmu"
"Aku butuh teman yang baik, dan itu bukan kamu"

Hari ini, ketika aku mengingat momen itu, aku rindu
Aku sadar komunitas itu sebenarnya bukan kelompok ekstremis
Saat itu aku hanya tidak bisa menerima prinsip mereka karena aku khawatir
Aku rindu merasa khawatir seperti itu
Khawatir kamu dibawa pergi oleh orang-orang baik
Dan meninggalkan aku yang bukan orang baik
Aku rindu, karena...
Momen kekhawatiran yang kedua ternyata jauh begitu menyakitkan
Kamu tahu kapan itu terjadi?

Saat itu, di akhir masa kuliah kita
Saat kamu dan aku sama-sama mulai dilanda stress karena tugas akhir
Kita sempat berbincang di telepon beberapa kali kan?
Bertukar cerita untuk sejenak melepas penat
Namun beberapa saat sejak itu, kekhawatiran keduaku muncul
Saat aku melihat foto di media sosialmu
Fotomu yang berkumpul dengan teman-temanmu
"Teman-teman nongkrongku," katamu
"Aku merasa bisa sedikit menghilangkan stress ketika bersama mereka"
Lagi-lagi, keburuksangkaan menghampiriku
Apalagi, saat aku melihat perubahan itu

Ujung kerudungmu, yang lama-lama semakin naik mendekati lehermu
Katamu, "iya tidak sepanjang dulu. Tak apa, ini masih menutupi rambutku"
"Rasanya jadi tidak terlalu panas karena pendek"
Gamismu, yang perlahan menghilang tergantikan baju dan celana jeans favoritmu
Katamu, "kalau sedang main jadi agak susah pakai gamis"
"Dengan celana ini, aku lebih mudah bergerak"
Lengan bajumu, tak menyentuh pergelangan tanganmu yang tanpa handsock itu
Katamu, "soalnya aku suka baju ini sih"
"Kalau pakai manset, warnanya gak matching"
Saat itu, mungkin kamu tidak tahu
bahwa hatiku sebenarnya sakit seperti ditusuk, entah karena apa
Sampai-sampai air mataku memaksa keluar
Rasanya tiap tetesan air mata itu mengandung kekhawatiran
Khawatir, jika teman-temanmu itu akan membawamu pergi
Membawamu pergi dariku sambil berkata, "aku tidak mau berteman lagi denganmu"
"Aku butuh teman yang asyik dan bebas, dan itu bukan kamu"

Hari ini, ketika aku mengingat momen itu, aku juga rindu
Rindu yang disertai rasa sakit dan rasa bersalah
Karena mungkin aku telah memilih bertindak di saat yang tidak tepat
Sampai akhirnya kau benar-benar pergi meninggalkanku
Semua karena ketidaksabaranku, bukan karena teman-temanmu itu
Aku rindu dengan rasa khawatirku yang dulu
Karena aku tahu, sebenarnya kekhawatiranku yang dulu
Adalah karena takut kamu berubah menjadi orang yang lebih baik
Lalu tak mau mengajakku untuk ikut menjadi baik

Pasti kamu merasa kesal kan ya?
Ketika aku tiba-tiba saja berlagak sok menjadi pahlawan
Mengeluarkan kata-kata yang seolah baik, seolah nasihat
Padahal aku mungkin hanya melihat sisi luarmu
Padahal aku mungkin hanya mengomentari fisikmu
Padahal mungkin itu semua keluar dari nafsuku
Karena jika bukan berasal dari nafsuku, seharusnya itu akan sampai ke hatimu
Dan ketika sampai ke hati, seharusnya kamu tidak pergi
Tidak pergi sampai kita hilang kontak seperti ini

Bulan, hari ini aku menyesal dengan tindakanku waktu itu
Bagaimana jika, gara-gara aku, kamu semakin meminimkan busanamu?
Bagaimana jika, gara-gara aku, kamu semakin terbawa arus negatif dari lingkunganmu?
Bagaimana jika, gara-gara aku, kamu jadi semakin membenci kebaikan?
Kalau pertanyaan-pertanyaan itu muncul, rasanya aku ingin menangis

Bulan, hari ini aku mengira-ngira tentang kabarmu
Apa yang sedang kamu lakukan?
Apakah hari ini kamu bahagia, atau sedang sedih?
Teman-teman seperti apa yang mengelilingimu sekarang?
Bagaimana kabar gamis-gamis dan handsockmu itu?
Bagaimana kabar celana jeans yang sering kau pakai itu?
Mana yang lebih kau sukai sekarang?
Tetapi aku hanya bisa bertanya-tanya, Bulan
Karena aku tidak tahu bagaimana caranya aku menghubungimu
Karena aku tidak tahu kontak atau media sosialmu yang sekarang

Bulan, aku sering merindukan momen-momen kita
Tetapi hari ini rasanya benar-benar puncaknya
Kau tahu, terkadang aku rasa aku punya obat kerinduan itu
Ketika aku menengadahkan tanganku
Berucap ini itu kepada Sang Maha Kuasa
Aku bisikkan, "Tuhan, aku rindu Bulan"
"Tuhan, tolong jaga Bulan"
"Tuhan, tolong bahagiakan Bulan"
"Tuhan, tolong lancarkan segala urusan Bulan"
"Ya Allah, ya Tuhanku... tolong jadikan Bulan mencintai kebaikan"
Jika sudah memohon seperti itu, rasanya rinduku sedikit terobati
Karena sudah aku sampaikan kerinduanku pada Sang Maha Penyampai

Rembulan, apakah rinduku telah tersampaikan padamu?
Semoga, ya :)
Rembulan, terima kasih sudah mewarnai hidupku :)

- Bintang, Oktober 2018

***

Mama menangis tersedu-sedu, tangannya masih memegang erat sebuah kertas yang bertuliskan Surat Untuk Rembulan. Mama menemukan surat itu ketika akan mengecek barang-barang di kamar Bintang yang akan segera diangkut ke truk. Papa yang melihat hal itu langsung menghampiri Mama, dan dengan lembutnya menanyakan apa yang terjadi.

"Pa, inget Rembulan gak? Temennya Bintang yang dulu deket banget itu kan ya..?" tanya Mama sambil berusaha menghapus air matanya. Papa mengangguk, tanda mengiyakan pertanyaan Mama.

"Kita cari dia yuk, Pa. Mama merasa perlu menyampaikan ini padanya. Sekarang Rembulan tinggal di mana ya?"

"Menyampaikan apa Ma? Memangnya apa yang tertulis di kertas yang Mama pegang itu?" tanya Papa.

"Ini Bintang yang nulis Pa, katanya untuk Rembulan. Tertulis Oktober 2018, itu kan sebulan sebelum...," Mama terdiam sejenak. Kemudian air matanya kembali mengalir, tak kuasa menahan kesedihan.

"Sebulan sebelum Bintang dioperasi, yang kemudian operasinya gagal dan mengambil nyawa Bintang," Mama berhasil menyelesaikan kalimatnya sebelum tangis semakin meledak. Papa hanya bisa memeluk Mama, berharap dapat sedikit menenangkan perasaannya.

Hari ini, Oktober 2020, sudah hampir dua tahun sejak surat itu ditulis oleh Bintang. Dan sudah hampir dua tahun juga, surat tersebut belum juga tersampaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar