Sabtu, 19 Juni 2021

Menjadi Wali Kelas

Tahun 2018 aku pernah berbisik menginginkannya. Tahun 2019 aku mengurungkan keinginanku. Lalu tahun 2020, akhirnya aku merasakannya.

Sudah lebih dari dua tahun sejak aku lulus dari Departemen Pendidikan Kimia UPI. Sudah hampir genap dua tahun juga, aku menjalani pekerjaan yang kuimpikan sejak masih SD: menjadi seorang guru. Pengalamanku memang belum seberapa, tetapi tahun-tahun pertama mengajar dan mendidik anak-anak di sekolah akan selalu menjadi tahun yang penuh warna. Banyak, banyak sekali pelajaran yang aku dapatkan. Rasanya, bahkan siswa yang lebih banyak memberikan pelajaran hidup untukku dibanding aku yang mengajarkan materi kimia kepada mereka. Salah satu pembelajaran yang paling berkesan di dua tahun pertamaku sebagai guru adalah merasakan pengalaman menjadi wali kelas.

Ya, wali kelas. Ah, ingatanku langsung kembali ke tahun 2018 di SMA Negeri 1 Bandung, tempat aku melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL). Saat PPL, aku mendapat jatah mengajar di 4 kelas siswa kelas X. Guru pamongku, yang bertugas membimbingku selama PPL, adalah guru kimia (pastinya) sekaligus wali kelas dari salah satu kelas tempatku bertugas. Aku ingat sekali jadwal mata pelajaran kimia di kelas itu jatuh di tiga jam pelajaran pertama di hari Senin. Dan setiap hari Senin pagi itu juga, rasanya aku dibuat kagum. Di pojok kelas X MIPA 6, aku selalu mengagumi interaksi antara guru pamongku dengan anak-anaknya. Terlihat begitu hangat, begitu dekat, benar-benar seperti orangtua yang merangkul setiap anak-anaknya. Pun, dari sisi anak-anak, tak jarang aku mendengar mereka bercerita, menyebut-nyebut ibu kesayangan mereka itu. Di akhir semester genap, aku melihat story anak-anak X MIPA 6 yang saling follow-an denganku, membagikan foto bahagia mereka bersama sang wali kelas. Foto studio yang cerah dan penuh kedekatan satu sama lain, pikirku.

Aku juga ingin merasakannya. Aku ingin merasakan menjadi wali kelas. Rasanya pasti asyik, bisa menjadi sosok guru terdekat di antara anak-anak. Melihat perkembangan mereka secara detail selama satu tahun, menegur dan menyapa mereka dengan kasih sayang, menjadi yang paling bangga ketika mereka mementaskan sesuatu dalam acara peringatan Hari Pendidikan Nasional atau ketika menjadi juara umum pada saat classmeeting; pasti bahagia yang dirasakannya. Setidaknya hal-hal indah itu yang terlintas dalam pikiranku saat itu. Ya, hanya hal-hal enak dan menyenangkan. Mungkin karena kebetulan juga kelas X MIPA 6 memang berisi anak-anak baik yang tidak terlalu sulit diatur. Aku ingin, aku ingin, aku ingin. Ya Allah, aku ingin menjadi wali kelas juga! bisikku.

Di awal tahun 2019, aku baru berhasil melaksanakan sidang skripsi dan berhasil lulus. Telat sekitar satu semester dari mayoritas teman-temanku. Setelah lulus sampai dengan sekitar bulan Juni, aku mendapat banyak cerita pengalaman dari teman-temanku yang sudah terjun langsung mengajar di sekolah sebagai seorang guru. Cerita mereka penuh warna. Tentu saja, yang paling banyak adalah cerita kelakuan-kelakuan anak yang butuh bimbingan dan perhatian lebih untuk menjadi lebih baik. Salah satu temanku sudah menjadi wali kelas saat itu. Saat mendengar ceritanya, respon pertamaku: hah, kok kayaknya capek banget ya. Harus menangani berbagai 'kenakalan' anak-anak, mendapat teguran dari guru lain atas perilaku anak-anaknya selama pelajaran, menagih tugas-tugas anak yang 'mandek', sampai memanggil orangtua siswa jika memang ada hal serius yang perlu didiskusikan. Walah, berat banget kayaknya. Aku belum kuat deh untuk jadi kayak gitu. Ya Allah, nggak deh, aku belum pengen jadi wali kelas, batinku, meralat bisikanku di tahun 2018 lalu.

Setelah sekitar 5 bulan 'menganggur', akhirnya di bulan Juli 2019 aku mendapat panggilan dari salah satu sekolah swasta untuk mengajar di sana. Alhamdulillah, akhirnya! Semester pertama, lagi-lagi, aku katakan sangat penuh warna. Banyak kagetnya. Kaget, kok sesusah ini menerapkan keidealan pembelajaran yang sudah dipelajari selama kuliah; kaget bertemu anak yang benar-benar sulit diajak menyimak materi; kaget karena rencana pembelajaran yang sudah disiapkan bisa sekacau ini ketika dilakukan di lapangan. Hal mengejutkan lainnya ternyata datang di awal semester genap, kalau tidak salah sekitar bulan Februari.

"Bu, mau ya jadi wali kelas XI Farmasi?" pertanyaan pembuka yang membuatku terkejut dari Pak Wakasek. Loh, kenapa kok rasanya tiba-tiba banget? Setelah dijelaskan panjang lebar tentang keadaan dan pertimbangan yang ada, akhirnya aku bersedia. Deg-degan banget, itulah kesan pertama yang kurasakan. Padahal aku sudah 'menunda' keinginanku untuk menjadi wali kelas karena mendengar cerita riweuh-nya temanku mengurus anak-anak, tetapi sekarang malah dikasih tugas ini. Dan sama sekali tak kusangka, amanah wali kelas yang kupikir hanya ditugaskan kepadaku selama satu semster, ternyata berlanjut di tahun ajaran berikutnya. Ya, total waktuku mengemban amanah walas menjadi 1,5 tahun, dengan kelas yang sama.

Saat tahun ajaran baru dan kembali ditunjuk untuk menjadi walas di kelas yang sama, aku sempat khawatir. Khawatir tidak sanggup menjadi wali kelas untuk kelas XII, yang sebentar lagi akan lulus. Bagaimana kalau aku tidak becus mengurus mereka? Bagaimana kalau aku tidak bisa membantu membimbing mereka untuk mencapai kelulusan yang baik? Walaupun penuh dengan pikiran dan kekhawatiran berlebihan, nyatanya, alhamdulillah, semua itu sudah terlewati sekarang. Awal yang penuh kekhawatiran, tetapi berhasil berakhir dengan rasa syukur. Bersyukur, aku diberi kesempatan mengemban amanah ini sehingga banyak hal yang aku pelajari di dua tahun pertama menjadi guru.

Hikmah yang paling berkesan dari takdirku ditunjuk menjadi wali kelas ini adalah diberikan anak-anak yang sangat mudah diatur dan jumlahnya tidak terlalu banyak. Ya, seolah Allah tahu (dan pastinya Allah Maha Tahu) bahwa aku ingin merasakan menjadi wali kelas, tetapi belum sanggup mengemban tugas berat tersebut sepenuhnya. Maka, Allah kirimkan 10 anak-anak baik, yang tidak sulit diatur, sebagai pembelajaran pertamaku menjadi wali kelas. Ya, diberikan lingkungan yang tidak terlalu berat untuk diurus, sebagai pembelajaran awalku. Selain itu, banyak sekali hal yang aku pelajari dari ke-10 anak-anakku tersebut.

Menurutku, hal yang paling menonjol dari mereka adalah solidaritas dalam kebaikan. Jika ada anak di kelas yang mengalami kesulitan menyelesaikan tugas, kesulitan ekonomi, atau hal-hal lainnya, anak-anak lain seringkali berinisiatif untuk membantu. "Bu, kita dapet kabar kalau si A lagi blablabla. Terus kita punya rencana untuk bantu blablabla. Menurut ibu gimana?" Maasyaa Allah. Rasanya haru dan juga malu ketika sudah ada perwakilan anak yang berbicara seperti itu. Haru, betapa baik dan pedulinya mereka terhadap teman sekelas yang sedang mengalami kesulitan. Malu, karena aku sebagai wali kelas justru kalah peduli dan kalah berinisiatif dengan anak-anak. Empati, itulah hal besar yang mereka ajarkan kepadaku. Semangat belajar dan bertanggung jawab mengerjakan tugas, juga merupakan hal luar biasa lainnya yang mereka perlihatkan kepadaku. Anak-anak aja semangatnya luar biasa, masa aku kalah sih. Ayo dong, harus lebih semangat De! seringkali aku bermonolog seperti itu.

Pada akhirnya, kesempatan merasakan menjadi seorang wali kelas adalah kesempatan yang sangat berharga untukku. Sangat berharga, karena di dalamnya ada hal-hal yang mungkin hanya bisa kupelajari ketika aku mengemban tugas yang tak mudah ini. Jika aku tak diberi amanah menjadi wali kelas, mungkin tidak akan sebanyak ini hal yang aku pelajari dan aku dapatkan di dua tahun pertama menjadi guru. Oleh karena itu, aku sangat bersyukur dan mengucapkan terima kasih. Terima kasih, sekolah, telah memberikanku kesempatan untuk menjadi wali kelas. Terima kasih, anak-anak, telah memberikan pengalaman dan pembelajaran yang luar biasa kepadaku sebagai wali kelas.

Sebagai penutup, mengutip salah satu kalimat favoritku dari asisten dosen mata kuliah kependidikan (lupa tepatnya matkul apa): terima kasih, telah mendidik saya untuk menjadi seorang pendidik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar