Rabu, 19 April 2023

Dialog Rahasia Antara Diri Sendiri

Menurutmu, kamu orang yang seperti apa?

Hal-hal apa yang kamu senangi? Apa yang bisa membuatmu sedih? Apa yang kamu lakukan ketika kamu kesal dan marah? Apakah kamu orang penuh dengan senyuman, ataukah itu hanya topeng untuk melindungi dirimu sendiri? Apakah kamu orang yang tulus membantu orang lain, ataukah itu kamu semuanya kamu lakukan dengan terpaksa? Apakah kamu berbuat baik karena memang senang melakukannya, ataukah karena orang lain terlanjur melihatmu sebagai orang baik? Apakah kamu orang yang musah jujur pada diri sendiri, atau lebih suka menahan diri karena takut akan kejujuran itu sendiri?

---

"ARGHHH BRENG***, APA SIH?! Nyebelin banget, berisik tau gak!! Anj***!!" sebuah teriakan terdengar dari rumah sebelah, seperti biasa. Mereka bertengkar lagi, gumamku. Iya, pasangan suami-istri muda dan pertengkarannya dengan orangtua mereka. Kata-kata kasar itu sering sekali kudengar dari sang lelaki kepada ibu ataupun bapaknya.

"Astaghfirullah. Nak, kamu jangan begitu ya. Kalau ngomong, yang baik, sama siapapun. Apalagi sama orangtua," begitu komentar orangtuaku.

Aku hanya terdiam dengan segala pikiran random dari otakku. Jangan? Kenapa jangan? Menurutku, lelaki itu hebat bisa berkata seperti itu-

"Tolong belikan garam dan telur di warung ya Nak," dialog-ku dengan pikiran randomku harus terhenti ketika Ibu menepuk pundakku untuk meminta tolong. Aku mengangguk dan beranjak untuk memenuhi permintaan Ibu.

Sepulangnya dari warung, aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Mataku tidak kuat menahan godaan lembut dari kasur dan kawan-kawannya. Ah, sepertinya aku akan terlelap.

***

Mataku terbuka ketika merasakan adanya sentuhan jari-jari di wajahku. Aku menatap sosok yang mencolekku itu. Lho? Aku?

"Kamu sudah bangun?" tanyanya.

"Kamu siapa? Kamu seperti aku," jawabku.

"Aku memang kamu. Aku datang ke sini karena tadi kamu memanggilku."

"Memanggil? Kapan?"

"Pasti banyak yang ingin kamu sampaikan. Hmm, coba kita mulai dari kalimat yang tadi pagi terpotong. Kenapa kamu berpikir bahwa lelaki yang berkata breng*** pagi tadi itu hebat? Aku penasaran"

"Ah... itu. Menurutku dia hebat karena bisa meluapkan emosinya dengan jujur. Dia berkata seperti itu pasti karena sangat kesal. Dia berani menyampaikan apa yang ada di pikirannya walau itu kata-kata kasar yang secara norma tidak pantas diucapkan apalagi kepada orangtua," aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Aku iri padanya."

"Iri?"

"Terkadang aku juga ingin mencoba meluapkan hal-hal seperti itu. Tapi aku tidak cukup jujur untuk mengutarakannya, tidak punya cukup keberanian untuk menerima konsekuensi dari apa yang akan aku ucapkan atau aku lakukan. Selama hidup ini, aku hanya cari aman."

"Aku juga suka bertanya-tanya. Kenapa aku tidak diperbolehkan berucap seperti itu? Kenapa aku tidak boleh menolak sesuatu jika aku memang tidak mau melakukannya? Kenapa aku harus bertindak hati-hati demi menjaga perasaan orang lain walau sebenarnya aku tidak ingin seperti itu? Kenapa aku harus menahan diri ketika marah? Kenapa aku tak boleh menangis karena hal-hal yang memang membuatku sedih? Kenapa ketika ada perasaan negatif yang aku rasakan, aku malah disalahkan? Kenapa ketika aku berkata jujur, respon orang-orang seolah tak suka dengan ungkapan itu dan mendorongku untuk tidak mengatakan kejujuran itu?"

"Sampaikan apapun yang mau kamu sampaikan padaku sekarang."

"Orang-orang bilang, bantulah selagi kamu bisa membantu. Tapi kalau sedang tidak ingin, apakah aku harus tetap membantu? Orang bilang, kendalikan emosimu. Tapi ketika aku menyampaikan ketidaksukaanku secara perlahan dan baik-baik, mereka bilang aku tidak boleh merasa seperti itu. Orang bilang, jujurlah pada dirimu sendiri. Tapi ketika aku bercerita bagaimana kecewanya aku terhadap kelakuan orang lain, mereka bilang itu salahku sendiri. Salahku sendiri karena terlalu berharap pada hal baik yang aku inginkan terjadi, salahku sendiri karena berharap kepada orang lain. Kalau pada akhirnya selalu aku yang salah, maka jujur ataupun bohong, yang manapun tidak masalah."

"Lalu apa yang kamu inginkan sekarang?"

"Aku juga ingin berkata kasar. Aku ingin balas menyakiti orang yang telah menyakitiku. Aku ingin bisa berani dan jujur tanpa disalahkan."

"Kamu bisa melakukannya di hadapanku, sekarang."

"Anj***. Orang-orang b*ng**t dan tidak tahu diri. Kurang ajar. Dunia ini dipenuhi orang-orang t*l*l seperti itu, yang hanya memanfaatkan kebaikan orang-orang lemah."

"Iya," sosok itu memelukku.

"Orang-orang yang membuatku sedih karena tindakan sederhana mereka, dan berkata padaku 'masa gitu doang disedihin sih, dasar lebay', aku ingin mereka merasakan kesedihan yang lebih besar daripada kesedihanku. Orang-orang yang meremehkan emosiku, aku ingin mereka diremehkan juga oleh orang lain. Aku ingin mereka stress dan menjadi gila, lalu tak ada seorang pun yang peduli dengan perasaan mereka. Orang-orang seperti itu harus merasakan ketidaknyamanan yang sama atau bahkan lebih dari yang aku rasakan."

"Orang-orang yang memarahiku karena aku menangis, aku ingin mereka dibentak sekeras-kerasnya ketika menangis gara-gara hal yang begitu buruk terjadi kepada mereka. Orang-orang yang meremehkan dan mengolok-olok kebaikan yang aku lakukan untuk mereka, aku ingin mereka kehilangan semua kebaikan dari orang-orang di sekelilingnya. Aku ingin menjadi orang egois yang jahat."

"Walaupun kamu ingin melakukannya, kenapa selama ini kamu tidak melakukannya?"

"Entahlah. Mungkin seperti yang tadi aku bilang. Aku hanya pengecut yang tidak punya cukup keberanian untuk berkata jujur. Tapi aku juga lelah dengan keadaan mengalah dan disalahkan ini."

"Aku rasa selama ini kamu menahannya karena tau bahwa itu hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan ataupun diucapkan, walaupun kamu ingin. Aku rasa ini karena kamu orang baik yang masih tahu batasan."

"Tidak, kamu salah. Aku akan jadi orang jahat yang tidak peduli dengan batasan"

"Tidak. Kamu kan bilang kamu cukup pengecut untuk itu."

"Ya, kamu benar. Aku memang pengecut."

"Hehe, tidak. Kamu hanya orang yang cukup baik untuk menahan diri agar tidak melewati batas. Menurutmu kamu keren dan hebat, lebih hebat dari lelaki yang kita obrolkan di awal."

"Kamu bicara begitu hanya untuk membuatku merasa nyaman saja."

"Tidak. Aku hanya menyampaikan pendapatku. Sama halnya dengan kamu menyampaikan pendapatmu bahwa lelaki di rumah sebelah yang teriak berkata kasar itu hebat."

"... Aku rasa hari ini sudah cukup. Aku ingin kembali saja"

"Baik, kalau kamu merasa begitu. Jika nanti ada yang perasaan-perasaan yang mengganggumu lagi, jangan sungkan untuk bertemu denganku ya! Kamu boleh menyampaikan apapun di sini. Ini dunia yang dimiliki kita berdua saja. Kamu bisa menjadi apapun tanpa dihantui kekhawatiran. Tempat ini akan selalu bersedia menjadi luapan emosi dan perasaanmu tanpa memikirkan batasan."

"Iya."

"Sampai jumpa lagi, Pelangi."

Kali ini mataku benar-benar terbuka di kehidupan yang nyata. Rasanya lelah sekali setelah meluapkan semuanya di hadapan sosok 'aku' tadi, tetapi juga muncul rasa lega. Perasaanku membaik. Aku tidak butuh berkata kasar lagi, ataupun mendoakan hal-hal buruk untuk orang yang menyakitiku. Aku sudah puas. Kali ini, aku melanjutkan kembali hari-hariku sebagai seorang pengecut, lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar