Sabtu, 01 April 2023

Menilik "Sepasang Sepatu Tua" Karya Sapardi Djoko Damono

Sepasang Sepatu Tua
(karya Sapardi Djoko Damono)

Sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu

Yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan --keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu

Yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkat truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa

Sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua

(1973)

---

Assalamu'alaikum teman-teman pembaca, apa kabar? :)

Pada post kali ini, saya ingin berbagi pandangan saya tentang salah satu puisi karya Sapardi Djoko Damono yang saya dapatkan dari buku "Hujan Bulan Juni". Buku ini berisi kumpulan sajak yang dibuat pada rentang tahun 1959-1994 karya Sapardi Djoko Damono. Saya membeli buku ini di tahun 2018, dan beberapa hari yang lalu baru sadar bahwa buku ini belum saya baca sampai akhir, baru dibaca sekitar 3/4-nya. Saya membeli buku ini karena saat itu sedang tertarik-tertariknya dengan puisi. Puisi "Hujan Bulan Juni" sendiri, yang menjadi judul dari buku ini, pertama kali saya kenal dari buku Bahasa Indonesia saat saya SMA kelas X. Saya ingat betul saat itu guru Bahasa Indonesia kami membahas puisi tersebut dan kami diberikan tugas untuk menampilkan musikalisasi puisi. "Puisi itu unik, hanya penulis puisi itu sendiri yang benar-benar tahu apa maksud dari puisinya tersebut. Namun, siapapun yang membacanya, bisa dengan bebas memaknai puisi yang dibuatnya. Setiap orang bisa melahirkan pandangan yang berbeda terhadap satu puisi yang sama," kira-kira begitulah yang pernah disampaikan guru saya, yang membuat saya jadi tertarik dengan puisi.

Sebelumnya, puisi yang saya bayangkan itu ya terdiri dari bait-bait (saya gak yakin sih apa nama istilahnya hehe) yang tiap baitnya terdiri dari jumlah baris yang sama; kalimat-kalimat yang digunakan adalah kalimat pendek dengan diksi yang tak biasa ditemui; atau hal-hal lainnya. Namun ternyata, yang namanya puisi tidak hanya berpatok pada hal-hal tersebut. Di buku ini saya menemukan banyak puisi yang bentuknya seperti cerita atau paragraf, walau tentu saja kalimat-kalimat yang digunakan serta maknanya tidak seeskspilist itu. Ini membuka wawasan saya bahwa suatu karya yang dinamakan puisi itu lebih luas daripada yang saya bayangkan selama ini.

Kembali lagi ke puisi "Sepasang Sepatu Tua". Kata-kata yang digunakan pada puisi tersebut, semuanya adalah kata-kata yang biasa kita temui di kehidupan sehari-hari. Tidak ada kata yang asing didengar di sana. Walau begitu, entah kenapa saat membacanya, untaian kata-kata biasa tersebut terasa memiliki makna yang mendalam. Saya berpandangan puisi ini menceritakan tentang perjalanan dua orang (atau lebih dari itu) yang diliputi rasa kasih sayang pada kondisi-kondisi sulit, yang sekarang akhirnya sudah bisa dilalui. Sepasang sepatu mewakili orang yang mencintai atau menyayangi seseorang, dan sepasang telapak kaki menjadi pihak yang dicintai atau disayangi oleh sepatu tua tersebut.

 "Yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan" menurut saya menggambarkan bagaimana perjuangan seseorang melindungi dan menjaga orang yang ia sayangi. Ia rela merasakan hal-hal yang mungkin menyakitkan untuknya, membuat ia kesulitan, membuat ia harus menanggung beratnya hidup, agar orang yang ia sayangi bisa terus merasa nyaman. Dalam melalui masa perjuangan itu, si sepatu yang awalnya terlihat kuat dan kokoh, bagus, serta nyaman dipakai, lama-kelamaan kehilangan itu semua. Kondisi sekarang mungkin membuatnya rendah diri: solnya mulai lepas, sisi-sisinya ada yang sudah robek, warna yang luntur, dan lain-lain. Mungkin banyak hal dari dirinya yang sekarang tidak bisa dibanggakan kembali. Sampai-sampai, yang bisa ia pikirkan sekarang adalah mungkin dibuang, ditinggalkan, dan tidak dibutuhkan lagi.

Jika saya mengibaratkan dengan lebih mengerucut, saya rasa saya melihat si sepatu tua ini adalah orangtua kita. Orangtua, dalam keadaan sesulit apapun pasti akan menomorsatukan anaknya (si telapak kaki). Orangtua akan rela melakukan apapun demi kenyamanan anaknya. Mereka akan rela kelaparan, yang penting anaknya masih bisa menikmati makanan. Mereka akan rela bekerja 24 jam, asalkan anaknya dapat merasakan tidur dengan tenang. Tak peduli hujan badai seperti apapun yang menerpa, mereka akan berusaha keras memastikan anaknya aman dan terlindungi di dalam rumah.

Seiring berjalannya waktu, seorang anak akan terus berjalan menggapai impian-impiannya. Terkadang, si anak perlu melangkah jauh dari orangtua untuk bisa mewujudkan impiannya. Di saat itu, orangtua mungkin hanya bisa mengirimkan doa dan berharap yang terbaik untuk anaknya. Jika anaknya lama pergi dan tak kembali, sesekali muncul pemikiran di benak orangtua bahwa si anak mungkin sudah lupa dan tidak membutuhkan mereka lagi. Mungkin, ada satu waktu ketika mereka berpikir bahwa mereka akan ditinggalkan. Kekhawatiran-kekhawatiran seperti itu hanya menjadi obrolan berdua saja antara sepasang sepatu -ayah dan ibu-, yang tak pernah sekalipun disampaikan kepada anak-anaknya.

Begitulah pandangan saya tentang puisi "Sepasang Sepatu Tua" ini, teman-teman. Ketika saya memaknai puisi ini seperti yang sudah saya jabarkan di atas, ini menjadi pengingat buat saya untuk tidak melupakan perjuangan-perjuangan orangtua untuk saya, juga perjuangan setiap orang yang menyayangi saya, baik dulu maupun sekarang. Mari kita menghargai setiap langkah kecil yang orang lain lakukan demi kebaikan kita, dan seminimal-minimalnya kita balas dengan doa :) Mungkin, doa yang kita panjatkan untuk mereka, orang-orang yang menyayangi kita dan kita sayangi, bisa menjadi penolong untuk mereka kelak di kondisi sulit. Kalau menurutmu, puisi ini bercerita tentang apa? Yuk ikut berbagi di kolom komentar :D

Sekian teman-teman, terima kasih yang sudah mampir dan membaca. Semoga harimu menyenangkan~ ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar