Selasa, 21 Februari 2012

Pelajar = Generasi Stres Masa Depan??

Teman-teman pasti sudah tahu kan, yang namanya pelajar itu ya tugasnya adalah belajar. Pelajar itu bisa meliputi pelajar SD, SMP, SMA, dll. Belajar itu merupakan hak yang pantas didapatkan oleh seorang anak. Untuk dapat hidup mandiri, seseorang harus memiliki pengetahuan yang luas yaitu dengan belajar. Jadi, sebenarnya belajar itu termasuk hak atau kewajiban seorang anak?

Pada awalnya, belajar memang diinterpretasikan sebagai salah satu hak seorang anak. Namun kenyataannya sekarang, belajar sudah seperti kewajiban seorang anak, yang bahkan terkadang memberatkan beban pikiran anak dan menyita waktu bermain seorang anak. Tujuan belajar adalah agar seorang anak dapat menjadi generasi penerus yang bisa memajukan bangsa ini dengan lebih baik dibanding generasi sebelumnya. Namun apakah benar kebanyakan sistem KBM pada masa ini mengalami ‘penyimpangan’, dari yang harusnya menciptakan ‘generasi sukses’ menjadi ‘generasi stres’ masa depan?

Dalam salah satu cerpen karya Gus Sakai yang berjudul “Kami Lepas Anak Kami”, sastrawan tersebut menuliskan keprihatinannya atas kondisi pendidikan di Indonesia saat ini. Cerpen tersebut bercerita tentang para orangtua yang setiap pagi melakukan ‘prosesi’ melepas kepergian anak-anaknya ke sekolah. Anak-anak mencium tangan ayahnya, kemudian melambaikan tangannya untuk masuk ke dalam pekarangan sekolah. Itu sudah menjadi rutinitas, setiap pagi. Pada suatu hari, sang ayah ingin masuk ke dalam ruangan sekolah tersebut untuk bertemu kepala sekolahnya. Tetapi tiba-tiba ia malah berada di sebuah ketinggian dan bisa melihat pemandangan yang sangat ‘menakjubkan’. Ia melihat ribuan orangtua di sebuah lapangan, melakukan prosesi melepas anak-anaknya ke sekolah, dan ketika memasuki pekarangan sekolah, anak-anak itu berubah menjadi robot-robot yang menyandang tas dengan terbungkuk-bungkuk...
Ya, anak-anak pelajar sudah menjadi robot. Mereka setiap hari harus menanggung beban mata pelajaran, menghafal rumus ini-itu, ikut bimbingan mata pelajaran untuk Ujian Nasional, untuk masuk perguruan tinggi, untuk masa depan mereka, katanya. Mereka kehilangan waktu bermain , kehilangan keindahan masa kecil, belajar dari pagi hingga sore, dan ketika sampai di rumah harus belajar lagi untuk esoknya, bahkan kadang tak bisa menikmati tidur nyenyak. Yang terbayang adalah guru-guru yang siap memberikan hukuman di sekolah ketika mereka terlambat masuk, ketika tidak membuat tugas, ketika tidak hafal rumus, ketika seragamnya tak lengkap, ketika uang sekolahnya terlambat, hingga mereka lupa sarapan atau sekadar minum susu yang kini harganya melangit, dan itu pun isunya tercampur bakteri mematikan.

Sistem pendidikan Indonesia tidak memberikan tempat kepada siswa untuk berpikir bebas, mempertanyakan sesuatu, berdiskusi, dan sebagainya. Anak-anak dicekoki dengan dogma dan aturan-aturan yang membuat mereka benar-benar dihantui.

Lihatlah di setiap pagi ketika musim ujian tiba, di jalanan ketika mereka diantar oleh ayah atau ibu mereka, banyak yang duduk di sadel kendaraan bermotor sambil membuka buku pelajaran dan membaca ketika kendaraan melaju kencang di tengah hiruk-pikuk dan semrawutnya lalu lintas. Mereka memaksakan diri untuk hafal rumus atau teori tanpa aplikasi yang mungkin akan keluar dalam ujian nanti. Sebuah cara belajar yang membahayakan dirinya. Mereka hanya punya satu keinginan: tidak salah dalam ujian nanti, maka berbagai cara dilakukan, termasuk membaca di atas motor. Maka beruntunglah bagi mereka yang diantar dengan mobil.

Menjelang meninggalkan sekolah di akhir kelas 6 SD, kelas 3 SMP, dan kelas 3 SMA, mereka juga harus menghadapi persoalan yang berat, ujian nasional. Inilah monster yang beberapa tahun terakhir menghantui anak-anak sekolah. Mereka harus mencapai nilai yang sudah ditentukan oleh pusat untuk bisa lulus, kalau tidak ingin mengulang lagi. Per mata pelajaran harus mencapai nilai tersebut dan tidak dihitung komulatifnya seperti sistem ujian nasional 10-15 tahun yang lalu dimana Nilai Ebtanas Murni (NEM) hanya menjadi salah satu syarat lulus, bukan satu-satunya syarat lulus.
Entah akan jadi apa generasi Indonesia ke depan, ketika beban berat di pikiran para generasi muda sudah ditumpukkan bahkan ketika mereka masih di bangku sekolah. Bukan tidak mungkin, keinginan untuk mendapatkan generasi cerdas di masa depan, akan berubah menjadi monster baru: generasi stres yang tak mampu menerima sebuah sistem pendidikan dan pengajaran yang dipaksakan oleh negara....

source:
Bahasa Indonesiaku, Bahasa Negeriku untuk kelas X SMA dan MA.
Penulis : Atep Tatang, Maman, Nenden Lilis A., Euis Susilawati. Penerbit : Platinum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar